Ini cerpen tulisan pertamaku, selamat membaca :
Kartini Berdarah
Ruangan yang begitu nyaman di
tempati dengan dominasi warna putih dimana – mana. Terdapat sebuah ranjang kayu
kecil nan indah bersprei putih bermotif bunga mawar, di sampingnya sebuah meja
belajar kayu dengan lampu belajar serta tumpukan buku biografi R.A. Kartini
dilengkapi kursi putar berwarna putih. Dinding kamar yang bercat putih itu pun
banyak dihiasi gambar – gambar R.A. Kartini berukuran A3.
Lampu nan terang menyinari kamar
tesebut, terlihat seorang gadis mengenakan piyama yang berumur 17 tahun sedang
membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang disusun oleh Armijin Pane di
meja belajarnya dengan seriusnya.
‘Daripada mati itu akan tumbuh
kehidupan baru. Kehidupan baru itu tiada dapat di tahan , dan meskipun sekarang
dapat juga ditahan – tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama
makin kuat, makin teguh.’
Tiba – tiba terdengar suara pintu diketuk dan suara panggilan untuk
Kartika nama gadis itu.
‘Kartika? Kartika?! Buka Pintunya!
Hari masihlah sore, gemarkah kau untuk tidur? Bukalah! Lekas!’
Dengan menghela napas panjang
Kartika pun menutup bukunya dan bangkit untuk membuka pintu kamarnya.
‘Astaga! Sesore ini kau sudah siap
berpiyama? Bisakah kau tidak bermalas – masalasan saja?’ kata Ibu Kartika yang
menatap Kartika seolah tidak percaya, ditangannya ia membawa tas kecil yang
dibelinya di Paris. Dibelakangnya terlihat 2 orang pesuruh sedang menggotong
sebuah benda setinggi 2 meter berbungkus kertas cokelat.
‘Ma, Kartika sedang membaca buku,
bukan sedang tidur’ bela Kartika pelan, sambil mengangkat buku Habis Gelap
Terbitlah Terang.
‘Oh terserahlah, kau pasti membaca
buku cerita. Itu sama saja dengan tidur. Sia – sia belaka.’
Ibu Kartika pun masuk ke kamar
Kartika ‘Pak, bawa masuk kesini. Letakkan disini saja, ya bagus, kalian bisa
keluar sekarang. Teerima kasih.’ 2 orang pesuruh tadi pun keluar dari kamar
Kartika.
‘Apa ini Ma?’ kata Kartika sambil
menghampiri benda tinggi yang berbungkusan cokelat tersebut merasa penasaran.
Ibu Kartika pun duduk di tepi
ranjang sambil melepas sepatu hak tingginya.
'Mama bawakan oleh – oleh untukmu.
Bukalah, kau pasti suka. Itu dari Jepara. Asli!’ sambil tersenyum menunjuk
bungkusan tersebut pada Kartika.
‘Lukisan R.A. Kartini, Ma?!’ tanya Kartika sambil menyobek bungkusan
tersebut dengan semangat.
‘Bukan , itu lebih bermanfaat buat
kamu.’
Kartika hanya bisa tertegun
mendapati sebuah bingkai kayu jati selebar setengah meter dan setinggi 2 meter.
Sekeliling tepinya penuh dengan ukiran berbentuk sulur – sulur. Pada kaki
cermin juga berukir berbentuk bonggol akar yang kokoh. Warna bingkai cokelat
tua berpelitur mengkilat.
‘Kenapa? Kau tak suka cermin itu?’
kata Ibu Kartika saat melihat anaknya tertegun melihat kaca itu.
‘Buat apa Ma? Tika rasa cermin ini
terlalu besar untuk kamar ini.’ Berkata dengan lirih sambil melirik bingkai
kayu tersebut tanpa minat.
‘Oh ya! Kartika sedang baca buku
R.A. Kartini, Ma.. bagus sekali ceritanya. Mama mau baca?’ seru Kartika
mendadak sambil menyodorkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dengan wajah
berseri.
‘Tika! Berhentilah membaca buku –
buku konyol seperti ini! Sekarang bukan saatnya kau mengenang jasa Kartini.
Tapi manfaatkanlah jasanya sebaik mungkin. Mana prestasi yang dapat kau berikan
buat Mama? Kerjakan tugasmu dan belajarlah yang tekun. Harusnya kau bersyukur
emansipasi menjadikanmu pelajar sampai sekarang dan Mama seorang manager
perusahaan besar’ kata Ibu Kartika dengan lantang.
‘Mama sama sekali tak berminat baca
ini?’ kata Kartika sambil masih menyodorkan buku tersebut.
‘Ya.. ya.. ya.. Mama akan baca jika
Mama sudah pulang dari dinas ke Bandung 2 minggu ini. Oke?’
‘Tapi Mama kan baru saja pulang
dari Semarang?’ Kartika bingung sambil meletakkan buku itu kembali ke meja
belajar.
‘Mama mendadak ditugaskan atasan
untuk mengurusi proyek yang baru. Sudahlah, mama capek. Mama hendak
beristirahat.’ Sambil bangkit dari sisi ranjang dan menguap.
‘Oh ya, cermin itu digunakan baik –
baik. Kau harus banyak merias diri, berlatih berbicara di depan umum dan
menjadi seorang gadis teladan yang menyenangkan.’
‘Maksud Mama?’ Kartika bertanya
tidak mengerti maksud dari perkataan Ibunya tersebut.
‘Bulan depan ada pesta peresmian
kantor baru Mama. Kau harus ikut, Mama ingin mengenalkanmu dengan anak kolega
Mama. Malam Sayang..’ Mengecup kening Kartika sambil berlalu beranjak keluar
kamar.
***
Pagi hari di sebuah kelas di SMA
Dwi Warna. Terdapat ruang kelas dengan bangku – bangku kayu, papan tulis dan
meja guru yang terlihat baru. Dinding kelas yang berwarna biru serta jendela
besar yang di hiasi gambar – gambar pahlawan. Dengan bangku – bangku yang masih
kosong dan beberapa bungkus jajan berserakan. Seorang pemuda tampan sedang
duduk di meja guru sambil mendengarkan sebuah lagu dari Ipod. Seorang pemuda
lain yang sederhana membawa sapu di tangannya lalu ia menghampiri pemuda tampan
itu.
‘Malvin, hari ini piketmu!’ kata
Resnaga sang pemuda sederhana itu sambil menyodorkan sapu. Namun laki – laki
yang duduk tadi pun acuh sambil menggoyangkan kepalanya menikmati lagu.
‘Malvin, hari ini piketmu!’ Resnaga
pun berteriak lebih nyaring. Masih saja Malvin tetap acuh bahkan lebih keras
menggoyang – goyangkan kepalanya.
‘Biar aku saja, mana sapunya?’ Tiba
– tiba Kartika muncul dari balik pintu.
‘Mengapa kau begitu baik hati?
Malvin tak pernah piket, kau tahu?’ protes Resnaga agak keras menunjuk Malvin.
Sedangkan Malvin melepas earphone.
‘Karena aku.. aku..’ Kartika gugup
dan terbata – bata saat melihat Malvin menatapnya tajam.
‘Karena dia memang seorang
pembantu! Ha.. ha.. ha..’ tiba – tiba seorang wanita muncul dibalik pintu dengan
suara nyaring, dialah Frieska pacar dari Malvin. Dibelakangnya ada Lena dan
Windi mengikuti sambil tertawa cekikikan.
‘Oh, sungguh malang.. udah kuper,
culun, kacamata pantat botol, pembokat lagi! Hi.. hi.. hi..’ Windi mencaci
Kartika yang tertunduk lesu.
‘Nih , sekalian ngepel lantai!’
Lena ikut mencibir sambil melempar kain lap yang ada di salah satu bangku.
‘Kalian jangan seenaknya pada
Kartika.’ Resnaga membela Kartika sambil merebut sapu dari tangan Kartika.
‘Malvin, piketlah! Apa kau tidak
malu kewajibanmu diambil alih Kartika?’ kata Resnaga melempar sapu ke Malvin.
‘Bah! Aku laki – laki. Menjijikan
sekali aku harus menyapu. Itu memang tugas perempuan!’ sambil melempar sapu ke
lantai
‘Ayo kita pergi!’ Malvin sambil
menggandeng Frieska keluar kelas diikuti Lena dan Windi yang menyibir ke arah
Resnaga dan Kartika.
‘Ahhhh.. aku tak habis pikir.
Mengapa kau selalu mengerjakan tugas – tugas Malvin dengan ringan tanagn?’
sambil mendesah panjang Resnaga menatap
Kartika dengan iba.
Terdiam beberapa saat Kartika pun
menatap Resnaga sambil berujar pelan ‘Ress, apa kau tak pernah mendengar cinta
itu butuh pengorbanan?’ kemudian ia pun pergi meninggalkan kelas.
Resnaga bergumam lirih ‘ Aku telah
lama berkorban untukmu Kartika.. Hanya saja kau tak pernah tahu’ mengambil sapu
lalu dia menyapu dengan perlahan.
***
Sore hari yang kelabu, hanya
secercah cahaya yang dapat masuk ke kamar Kartika. Karena cermin besar itu
hampir menutupi sebagian jendela. Kartika pun masuk ke dalam kamar, dan masih
mengenakan seragam sekolah. Dan menghampiri meja untuk meletakkan tas dan
bukunya. Kemudian ia berjalan menghampiri cermin Jepara itu.
‘Indah nian kau cermin.. wahai
benda antik Jepara’ Kartika mengelus ukiran – ukiran di tepian cermin dengan
perlahan.
‘Kau ingatkanku pada Ibu Kartini..
andaikan kau adalah penghubung masa ini ke masa lalu, akan ku temui Ibu
Kartini.. akan kuceritakan semua jasanya telah mengubah zaman dan nasib
perempuan. Namun aku masih terkurung disini.. layaknya Ibu kita dipigit dan tak
kuasa menanggung senyap..’ bernada sedih sambil meratap pada kaca tersebut.
‘Oh, betapa sunyinya hidupku. Tak
pernah dicintai dan Malvin pun tak pernah menoleh padaku, haruskah aku mengubah
diriku menjadi gadis – gadis seperti geng parfume? Andaikan, ibu Kartini
kemari.. mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia.’
Tiba – tiba lampu kamar padam,
cahaya merah berkerlap – kerlip dan terdengar suara desauan angin.
‘Oh, ada apakah ini?’ Kartika
tersentak kaget ketakutan, ia pun berlari ke atas ranjang.
Sesosok wanita muncul dari bingkai
cermin Jepara, dan melangkah keluar menghampiri ranjang. Lampu pun kembali
menyala terang dan suasana kembali normal.
‘Nduk, tenanglah... iki ibumu’ kata
seorang wanita sambil tersenyum lembut.
‘Siapa kau?!’ Kartika semakin duduk
menyudut di ranjang sambil memeluk kedua lutunya. Wajahnya luar biasa
ketakutan.
‘Aku Kartini. Aku yang selama ini
kau tuturkan di lembaran – lembaran kertas buku harianmu. Aku yang selama ini
kau rayakan setiap tanggal 21 April, sama dengan hari lahirmu juga kan, Nduk?’
‘Kau Kartini? Raden Ajeng Kartini?
Benarkah? Bagaimana kau bisa tau aku?’ Kartika pun mulai tenang dan
mengendurkan pelukkan lututnya.
‘Ya, aku Raden Ajeng Kartini.
Namun, apalah arti sebuah stastus ningrat jika Raden Ajeng harus hidup di
penjara sangkar emas? Dikelilingi 4 tembok serasa kebebasan adalah kebahagian
terbesar’ sambil tersenyum ramah Kartini berujar.
‘Bagaimana Ibu bisa daatang kemari?
Sudikah ibu bersahabat dengan gadis memalukan seperti saya ini?’ Kartika masih
heran akan kedatangan Ibu Kartini.
‘Oh, Nduk... tiada boleh kau
berkata seperti itu. Ingin benar hatiku berkenalan dengan seorang anak gadis
modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang aku sukai
dengan hati jantungku. Anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah
tangkas, yang berdaya upaya bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk
bangsa.. Ibu datang dari jauh untuk mendengarkan segala kegundahan hatimu.
Anggaplah aku sahabat penamu yang akhirnya berkunjung menengok seperti tatkala
aku bersua dengan Nyonya Abendanon.’
‘Ibu...! Kartika rindu sekali pada
Ibu. Setiap malam Kartika diam – diam membaca buku tentang Ibu. Berhati – hati
kalau Mama sampai menangkap basah Kartika, dan membuang segala yang kartika
koleksi tentang Ibu’ Kartika menghambur memeluk Kartini sambil terisak – isak.
‘Sshh.. Yakini, ibu juga merindukan
sosok gadis berhati suci sepertimu. Tidurlah, besok kau sekolah bukan? Betapa
beruntungnya dirimu yang hidup di dunia pencinta kebebasan. Bukankah begitu
Nduk?’ Kartini berujar sambil membelai rambut Kartika.
‘Ibu benar. Emansipasi menghapus
diskriminasi untuk golongan kita. Dan ibu pasti senang melihat jasa ibu
terlampau besar untuk Indonesia’ sambil mengangguk lemah.
‘Aku tahu jalan yang hendak aku
tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang – lubanhnya. Jalan itu
berbatu – batu, berlekuk – lekuk, licin, jalan itu.. belum dirintis! Dan
biarpun aku tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah
jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya kini telah terbuka
lebar.’
***
Di kelas terdengar suara gaduh yang
dibuat oleh 3 orang siswi geng parfume yaitu Frieska, Lena dan Windi. Terlihat
ketua geng Parfume yang duduk di slah
satu meja dengan muka yang berbinar bahagia.
‘Oh, kemarin malam adalah pesta
terkeren sepanjang hidupku. Seperti mandi keringat aku ikut dugem di
dancefloor, 4 kali bolak balik ganti pasangan. Sungguh menyenangkan!’ Frieska
berujar sambil tertawa cekikikan.
‘Iya tentu saja kau bolak balik
pasangan.. bukankah kita bertiga sungguh seksi tadi malam?’ Windi menimpali.
‘Ya jelaslah. Apalagi kau kemarin
mabuk berat Windi. Hei, tidak ingatkah kau? Kemarin kau membuka setengah bajumu
dan bergoyang sungguh panas!’
‘Oh ya?! Bagaimana reaksi cowok –
cowok itu?’ Windi memekik girang menimpali Frieska.
‘Wow! Mata mereka seketika hijau!
Dan langsung teler melihatmu!’ Lena yang dari tadi hanya diam kini mulai ikut
berbicara.
‘Air liur mereka sampai menetes di
gelas cokctail’ kata Frieska.
Mereka pun tertawa bersama dengan
nyarinya. Kartika muncul dari balik pintu, tangannya mendekap tumpukan buku.
Lena pun memanggil Kartika ‘Hei,
kau! Kesini... Iya kamu, Cepat!’ seketika tawa mereka menghilang, wajah centil
mereka pun berubah menjadi beringas. Kartika pun berjalan dengan menundukk
ketakutan.
‘Jalan lelet amat! Rupanya hendk
bersing dengan kura – kura! Darimana saja kau, Kuper?!’ Frieska bertanya sambil
membentak.
Kartika dengan gagap menjawab ‘Da.. da.. ri..
P.. per pustakaan’
‘Hei! Kalo ngomong yang tegas!’
Lena berbicara sambil menepuk pipi Kartika.
‘Iya nih, berminat ya gadis sok
bisu? Udah kuper, siapa yang mau repot – repotmelirikmu? Apalagi.. hi.. hi..
hi.. lihat deh, apa bawaannya?’ Windi berujar sambil menarik – narik
kacamata Kartika.
Frieska pun mulai turun dari meja
dan berdiri dengan segera ian merebut buku – buku yang didekap Kartika. ‘Ya
ampun! Hari gini.. ngga salah baca, kau? Kartini? Memang masih zaman? Hm..’ ia
pun membaca satu persatu judul buku – buku itu.
‘Ada R.A. Kartini, Kartini Sebuah
Biografi, dan .. astaga! Judul ini jadul banget, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Eh, pernah dengar nggak kalian?’ Frieska berkata sambil menoleh ke Windi dan
Lena yang menggelengkan kepala bersamaan sambil mencibir.
‘Yang aku tahu sih adanya Habis
gelap total terbitlah tagihan PLN, belum bayar listrik kalee..’ Windi dengan
nyaringnya ia tertawa setelah berkata begitu.
Frieska dan Lena pun tertawa
terbahak – bahak bersamaan.
‘Kembalikan! Kembalikan.. buku
itu!’ Kartika berusaha merebut buku yang dipegang Frieska.
‘Oh. Dear.. Len, tahan dia!’ Frieska
memerintah dengan keras. Segera setelah mendengar perintah Frieska, Lena pun
mengunci kedua lengan Kartika ke belakang punggunnya.
‘Coba kita baca sekilas buku macam
apa ini, Sobat.’ Frieska berdehem, lalu dengan mimik so serius ia membuka salah
satu halaman buku R.A. Kartini karangan Tashadi.
‘Denger ya, salah satu kutipan
surat Ibu kita tercinta “Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis
Bumiputera akan menempuh hidup, ialah kawin.’ Mereka bertiga pun tertawa gelak
setelh Frieska membaca buku tersebut.
‘Hari gini.. kawin? Emang Siti
Nurbaya?’
‘Wah, wah, wah pantas saja kau jadi
anak kuper.. bacaanmu masih seputar zaman tempoe doeloe.. parah!’ setelah Lena
berbicara Windi pun menimpalinya dengan cibiran.
‘Oke, sebagai teman yang baik
bagaimana kalo kami membantumu sembuh dari ke-kuper-an?’ tanpa menunggu jawaban
dari Kartika yang sibuk melepaskan diri dari cengkraman Lena, kini Frieska
merobek buku – buku tersebut. Kraaak.. Kraaak.. Kraak.. Segera lembaran buku
Kartini berserakan di lantai kelas. Kemudian dengan bernafsu Frieska dan Windi
menginjak – injaknya.
Dengan memelas kepada mereka
Kartika berkata ‘Kumohon hentikan...! jangan disobek! Kumohon...’ Kartika yang sedari tadi terus – terusan
berontak kemudian Lena mulai mengendorkan cengkramannya. Seketika itu pula
Kartika menyerang Frieska untuk menghentikannya.
‘Nih, kita ngga butuh bacaan
ginian!’ Frieska pun melempar buku – buku Kartini ke lantai dan segera
menginjaknya juga.
Seketika itu juga Kartika menunduk
dan melindungi buku – buku tersebut. Berkali – kali Frieska dan kedua teman –
temannya menendang Kartika.
‘Rasakan! Dasar penyembah buku!’
Lena menendang Kartika dengan keras.
Malvin pun muncul dari balik pintu,
menggeleng – gelengkan kepala melihat Geng Parfume sedang menyiksa Kartika.
‘Sudah hentikan Frieska, Lena,
Windi!’ seru Malvin agak keras.
‘Tapi Sayang, anak ini rese’ sekali
tadi, Huh! Masa’ akau sama anak – anak tidak diconetekin pas ulangan Fisiska?’
Frieska pun menghentikan acara menyiksa lalu menghampiri Malvin dan mengeluh manja.
‘Salah kalian sendiri tidak
belajar. Sekarang berhentilah main – mainnya, katanya kita mau jalan – jalan?’
‘Ayo, kita tinggalkan dia!’ Frieska
memberi aba – aba kepada teman – temannya.
Setelah keempat murid tadi pergi
keluar dari kelas, Resnaga muncul dan keheranan melihat Kartika sedang
memunguti sobekan kertas dan berusaha menyusunnya.
‘Kartika? Kok belum pulang?’
Resnaga bertanya heran.
Kartika pun menoleh ke asal suara
dan memaksakan senyum ‘Oh, kau.. Res. Iya, aku habis dari perpus.’
‘Kau sedang apa? Hei, apa yang
terjadi?’ menghampiri Kartika dan membantu memunguti buku – buku yang
berserakan.
‘Aku sedang melindungi harta
bangsa. Sisa – sia pengabdian ibu kita.’
‘Ibu kita? Siapa?’ Resnaga merasa
heran
Kartika terbelalak menatap Resnaga
tak percaya ‘Tak tahukah kau? Raden Ajeng Kartini! Beliau Ibu kita semua bukan?
Beliau sungguh baik hati. Beliau sangat keibuan, belaiannya sangat lembut.. ah,
aku masih bisa merasakannya. Hm, kira – kira sekarang Ibu sedang apa ya?’
Kartika berujar sambil memainkan rambutnya.
‘Kartika, kau baik – baik saja
kan?’ Resnaga berkata sambil menyentuh kening Kartika dengan lembut.
‘Apa maksudmu?!’ menepis tangan
Resnaga dangan kasar.
‘Aku mengkhawatirkanmu. Lagipula..
bukankah Kartini sudah tiada? Bagaimana bisa kau merasa belaiannya’
‘Beliau masih hidup kok! Beliau
sengaja datang dari jauh untuk menemaniku. Ah, sudahlah. Pasti kau tak kan
percaya. Lebih baik aku pulang saja. Sampai jumpa.’ Sambil berdiri dan
memasukkan buku –buku ke dalam tas dan kemudian beranjak pergi
***
Sore hari yang menunjukkan pukul 4
sore, Ibu Kartika terlihat berdiri monda – mandir sambil sesekali menengok jam
yang melingkar di lengan kirinya.
‘Oh, Hari sudah sore. Kartika tak kunjung
pulang, kemana saja anak itu? Tak tahukah dia kalau hari ini Keluarga Gana akan
berkunjung kemari?’
Tiba – tiba perhatiannya tertarik
pada sebuah buku agenda bersampul merah di atas meja belajar ‘Diary? Kartika
menulis Diary? Hm.. boleh juga. Aku penasaran dengan isinya.’ Ia pun mulai
duduk dan membaca buku agenda tersebut.
Saat itu juga Kartika mendadak muncul dari
balik pintu ‘Mama? Mama baca diary-ku?!’ Kartika terkejut melihat buku
agendanya di baca Mamanya dan seketika itu juga Mamanya langsung
mengembalikanny ke atas meja.
‘Iya. Apa tidak boleh? Kau adalah anak Mama.
Urusan pribadimu otomatis urusan Mama juga.’
‘Tapi Ma..’
‘Tapi apa? Mama tahu kamu sekarang
sedang menyukai teman sekelasmu. Siapa Malvin itu?’
Kartika hanya bisa terdiam dan
menunduk.
‘Dengarkan Mama Kartika. Kau harus
jatuh cinta oada lelaki yang tepat! Jangan sampai kau mendapat lelaki brengsek
seperti papamu. Turuti saja pilihan Mama. Kau pasti suka. Sekarang lekaslah
mandi dan berandan yang cantik. Keluarga Gana akan datang dan makan malam
bersama kita.’
‘Siapa mereka Ma?’ Kartika bertanya
sambil menongakkan kepalanya.
‘Tentu saja calon keluarga barumu!’
Jawab Ibu Kartika sambil berlalu keluar kamar Kartika.
Kartika pun terduduk lemas di
ranjangnya sambil memeluk buku R.A. Kartini dan mulai terisak sedih. Tiba –
tiba Kartini keluar bingkai cermin jepara dan kemudian berjalan menghampiri
Kartika, duduk di sampinya sambil membelai rambut Kartika dengan lembut.
‘Anakku, ceritakan lah semuanya
pada Ibu, agar lapang dadamu.’
‘Hikss.. Ibu.. saya hendak
dijodohkan hikss.. oleh Mama saya. Saya nggak mau. Saya mencintai pemuda lain’
ucap Kartika sambil menangis terisak.
‘Cinta, apakah yang kau ketahui
tentang perkara cinta itu? Betapa kau akan mungkin sayang akan seorang laki –
laki dan seorang laki – laki kasih akan kau, kalau tiada berkenalan bahkan yang
seorang tiada boleh dapat berdiri – sendiri, jangan bergantung kepada orang
lain, supaya jangan.. jangan sekali – kali dipaksa kawin!’
‘Ibu, mengapa hidup saya sangatlah
sengsara? Saya tak pernah bahagia tak terkira terkecuali bertemu dengan Ibu. Hanya
Ibu yang mengerti hati saya. Maafkan saya Bu, tidak bisa melindungi buku – buku
Ibu. Teman – teman sekelas saya mencoba menyobeknya tadi siang dan mereka
selalu menyiksa saya.’
‘Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati
melihat kejahatan sebanyak ini di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya
akan menjauhkannya! Sabar ya Nduk..’
***
Malvin dan Frieska tampak bermesra
– mesraan di kelas yang kosong siang itu. Mereka saling menggoda dan tertawa.
Kemudian Frieska bergelayut manja pada Malvin. Mereka berdua berpegangan
tangan. Dari arah pintu, kartika berjalan cepat sambil menunduk. Ia terperangah
melihat pemandangan tak pantas di kelas. Seketika itu juga buku – buku yang
didekap Frieska pun jatuh berdebam ke lantai.
‘Oh kau Tik, aku kira guru’ kata
Malvin sambil refleks melepas genggaman tangannnya dengan Frieska.
‘Hei, kuper! Ngapain kesini? Ganggu
orang pacaran saja!’ Frieska membentak
dengan keras.
‘Ma.. maaf.. aku. Nggak tahu kalau
kalia..’ dengan gugup Kartika menjawab.
‘Nggak tahu apa? Bilang saja iri!’
dengan berkacak pinggang lalu Frieska pun bangkit berjalan menghampiri Kartika.
Windi dan Lena pun masuk ke dalam
kelas, lalu Lena memungut buku agenda yang terjatuh bersamaan dengan buku –
buku yang lain.
‘Apa ini?’ teriak Lena.
Kartika pun menoleh terkejut.
‘Lihat! Ck.. ck.. ck.. tak
kusangka!’ Lena makin berteriak sambil menunjukkan sebuah halaman dari agenda
tersebut ke teman – temannya. Sebuah tulisan dengan huruf besar – besar
berbunyi “AKU CINTA MALVIN”.
Frieska mendelik marah ‘ Kau cinta
Malvin? Kau menyukai cowokku? Bisa – bisanya kau..’ Pllak! Sambil menampar
kartika dengan keras.
Malvin menghampiri mereka berdua.
Kemudian mengambil alih agenda yang dipegang Lena dan tertawa terbahak – bahak.
‘Wah wah wah, aku tak menyangka
tipe cowokmu seperti aku Tika. Kukira seperti Resnaga yang culun.’
Lena, Windi daan Frieska pun
tertawa keras medengar perkataan Malvin.
‘Kartika.. Kartika.. bercerminlah
dulu sebelum kau menyukai seseorang! Kau itu SANGAT TIDAK PANTAS buatku yang
kaya, tampan dan idola semua cewek! Maaf Kartika.. lebih baik kau berhenti
menulis namaku di diarymu, buang – buang kertas saja’ ucap Malvin sambil
menghampiri Lena dan membolak – baliknya dengan antusias.
‘Iya, kau itu seperti pungguk
merindukan bulan!’ ucap Windi.
‘Bukan, tapi seperti langit dan
bumi!’ timpal Lena.
‘Eh, salah lagi. Lebih mirip kutu
dan pangeran!’ Frieska ikut berbicara.
Malvin dan geng Parfume tertawa
sangat keras.
‘Dasar gadis lugu. Ayo kita pergi!’
ucap Malvin sambil merangkul Frieska yang tersenyum sinis pada Kartika yang
sedari tadi menunduk. Lena dan Windi pun beranjak keluar mengikuti mereka.
***
Kartini berjalan mondar – mandir
dikamar Kartika sambil bergumam sendiri
‘Oh, ankku yang malang.. aku tahu
semua perbuatan keji yang dilakukkan mereka! Seperti Belanda menjajah anak
pribumi. Namun, pantaskah saudara menjajah saudaranya sendiri? Tiada satu pun
jua boleh menyakiti Kartika.’
‘Aku pulang..’ muncul dari balik
pintu.
‘Masuklah Nduk.Ssh.. jangan berkata apa pun. Ibu tahu perasaanmu.’
‘Bagaimana Ibu bisa tahu?’
‘Apa kau lupa dengan tujuan Ibu
kemari? Setiap hari aku melihat – lihat dunia masa sekarang yang sangat pesat
peradabannya. Namun, aku iba hati ini tatkala aku menjumpai berbagai macam
perempuan seperti mereka. Karena bukan barang yang indah – indah saja yang
terlihat olehku.’
‘Maksud Ibu? Perempuan yang seperti
apa?’
Lalu Kartini menhela nafas panjang
sambil duduk di kursi ‘Apalah artinya perjuangan Ibu selama ini? Emansifatie yang mendarah daging telah
disalahgunakan.’
Kartika pun duduk di tepi ranjang
‘Maksud Ibu? Kartika semakin tak mengerti. Jasa Ibu sungguhlah besar.’
‘Namun mereka tak tahu bagaimana
mengamalkannya! Ibu tak kan berjuang jika akhirnya mengetahui betapa
mengerikannya sikap perempuan masa ini. Mereka berjalan dengan busana ala
kadarnya, seperti memang lebih mengasyikkan tuk telanjang. Emasipasi juga telah
mengubah mereka untuk terus mengejar pekerjaan dan menyiakan suami dan anak –
anak mereka. Pantaskah perempuan seperti itu? Mereka tidaklah boleh melupakan
sama sekali adat dan norma. Oh, namun betapa memalukan mereka berjalan,
bernapas, bertigkah laku layaknya perempuan binal tak punya urat kemaluan!’
dengan lantang dan penuh emosi Kartini berbicara.
‘Oh, Ibu. Sungguh besar derita
bebanmu. Namun, masih banyak perempuan di bumi Indonesia yang mempunyai akhlak
mullia seperti Ibu.’
‘Ya, kau benar Anakku. Alangkah
susahnya dan sedihnya akan patah rasanya hidupku jika semua yang kutuangkan
dalam ratusan lembar surat dinodai oleh tinta yang lebih pekat. Namun aku tahu,
diliteran tinta kami masih meiliki asa. Dan kau pikul cita – citaku
selanjutnya, kau emban dan kau simpan dalam sanubari terdalam. Engkau jiwa yang
suci Nduk.. janga sampai ternoda.’
‘Ah, aku hanyalah gadis lemah,
rapuh dan tak berdaya. Sia – sia saja aku, jika orang yang kukasihi pun
mengolokku.’
‘Hapus air matamu, sudaah saatya
kau hapus noda yang mengotori halaman – halaman kisah hidupmu.’ Ucap Kartini
sambil mencoba menenangkan Kartika.
***
Sore hari di ruang kelas yang
kosong karena jam pelajaran telah berakhir. Hanya tersisa beberapa murid saja,
dan sudah ingin pulang karena sudah selesai melakukan ekstrakulikuler. Salah
satunya ialah Windi yang beridiri membelakangi pintu masuk sambil seang
bertelponan dengan sangat manja dan centil.
‘Iya.. Sayang.. aku habis ini
tunggu kamu di depan gerbang sekolah ya? Jangan ngaret lho! Awas! Nanti kita booking tempat yang biasa saja. Iya,
ngerti ngga sih maksudku? Aku lagi bokek nih, omm...’
Tiba – tiba sesosok hitam masuk ke
dalam kelas. Sosok tersebut memakai jubah hitam panjang menutupsampai mata kaki
dan tudung yang melindungi wajahnya,di tangan kanannya memegang sebuah pisau tajam.
‘Oke deh Sayang... sampai ketemu
nanti’ Windi pun menutup pembicaraan teleponnya itu dan saat ia berbalik
seketika ia berteriak tertahan.
Windi jatuh tersungkur di lantai
kelas dengan darah membanjiri dari perutnya.
***
‘Astaga Kartika! Badanmu panas
sekali! Kau harus banyak istirahat. Jangan baca buku – buku cerita lagi. Pasti
kau kecapekan’ Ibu Kartika menggeleng – gelengkan kepala saat melihat angka
yang ditunjukan thermometer suhu
badan.
Kartika hanya bisa membisu di balik
selimut tebal.
‘Kau harus makan yang banyak .
nanti Mama pesankan bubur ayam kalau lewat di depan rumah.’
Kartika masih membisu, tangannya
mendekap erat diary dan gambar R.A.
Kartini.
‘Oke, terserah kau saja. Ibu sudah capek melihatmu
akhir –akhir ini seperti kehilangan gairah hidup. Tapi ibu tak bisa menungguimu
lebih lama. Ibu ada meeting di kantor
hari ini. Jadi, kalau ada apa – apa kau bisa hubungi Ibu lewat telepon saja.’
Namun Kartika masih mebisu dengan
tatapan mata kosong ke depan.
‘Sampai jumpa nanti malam Sayang..’
sambil mengecup dahi Kartika kemudian berlalu keluar.
***
Pagi yang cerah, menyinari kelas
yang masih kosong. Masih sedikit murid yang berdatangan kesekolah. Di kelas
Kartika, terlihat sosok yang sama, memakai jubah hitam dan tudung. Duduk di
salah satu bangku sambil menunduk. Tidak beberapa lama Lena dan Frieska masuk
ke dalam kelas. Langkah mereka terhenti ketika menjumpai sosok berkerudung
hitam duduk tak bergerak.
‘Siapa kau?!’ Frieska berteriak
nyaring lalu raut mukanya mendadak berubah ketakutan.
Sosok itu masih tidak bergerak.
‘Fries.. apa jangan – jangan.. Dia
yang ngebunuh Windi?’ ucap Lena dengan nada takut bercampur ragu.
‘Aku ngga tahu. Hei, jawab! Kau
tuli ya? Kau siapa? Jangan bercanda! Ini nggak lucu!’.
Masih tidak ada reaksi.
‘Oke, sebentar Fries.. janagn –
jangan dia orang gila yang ketiduran di kelas. Aku akan buka kerudungnya.’ Lena
pun berjalan menhampiri sosok tak bergerak tersebut.
‘Janagn Len! Aku takut! Lebih baik
kita lapor guru atau kepala sekolah.’ Sambil Frieska menahan lengan Lena.
‘Ya ampun Frieska.. gini aja takut.
Kau lupa aku sudah pegang sabuk hitam?’
‘Tapi..’ Frieska ragu – ragu dengan
apa yang dilakukan Lena.
‘Sudah, diamlah disini..’
Lalu Lena berjalan dengan penuh
waspada, semakin mendekat ke sosok tersebut. Saat Lena sudah berdiri di depan
bangku dimana sosok itu duduk tak bergerak. Tangannya terjulur hendak membuka
tudung kepala sosok tersebut. Namun, secepat kilat sosok itu bergerak, bangkit
dan langsung menusukkan pisau yang sedari tadi dipegangnya di balik jubah ke
perut Lena.
‘AAAAAAAAA...!’ Frieska memekik
nyaring dan segera berlari keluar kelas mencari bantuan.
***
Kartika masih terbaring saki di
kamarnya. Ia setengah berbaring di ranjang, dan ia menulis sesuatu di
agendanya. Pintu kamar tiba – tiba terbuka, Kartini masuk bersamaan dengan
cahaya lampu dari luar kamar ke dalam dan tersenyum ramah melihat Kartika.
Kartika menoleh kearah datanganya
cahaya dan membalas senyuman Kartini dengan lemah ‘Ibu arimana saja?’
‘Tidak begitu penting. Hanya
menghapus noda’ Kartini berkata sambil berjalan menghampiri Kartika dan
memegang keningnya dengan lembut.
‘Itu apa?’ tanya Kartika menunjuk
bungkusan tas plastik hitam yag dibawa Kartini.
‘Oh, ini.. tidak penting kok.
Bagaimana keadaanmu Nduk? Mau Ibu
buatkan wedang jahe? Atau bubur?’ jawab Kartini sambil memasukkan bungkusan itu
ke kolong ranjang.
‘Nggak perlu Bu. Saya sudah agak
mendingan. Mungkin besok saya sudah diijinkan Mama masuk sekolah. Mmm.. Ibu terlihat letih. Ibu
mau tidur di samping saya?’
Sambil mengangguk kalem Kartini
menjawab ‘Ya, Ibu sangat lelah. Bolehkah Ibu tidur dekat dinding? Rasanya pasti
dingin.’
‘Tentu saja, dengan seneng hati’
Kartika menjawab dengan nada ceria dan langsung bangkitmengganti posisi
tidurnya.
Kartini pun naik ke ranjang dan
langsung tertidur lelap. Sedang Kartika masih sibuk menulis diary sambil sesekali memandang Kartini.
Tiba – tiba penanya terjatuh ke lantai. Kartika bergegas turun dari ranjang,
hendak memungut penanya. Namun, perhatian sejenak teralih sesaat melihat
bungkusan hitam milik Kartini. Dengan hati – hati ditariknya keluar bungkusan hitam
tersebur dari kolong ranjang.
‘Hmm.. apa yah ini? Ibu Kartini
kemana saja sih seharian ini? Tumben juga bawa oleh – oleh..’ Kartika penasaran
lalu membukaplastik hitam tersebut. Ia tak menyangka kalau ia menmukan jubah
hitam dan sebilah pisau berlumuran darah. Kartika memegang semua benda tersebut
dengan raut muka ketakutan. Ia bolak – balik memandang Kartini yang masih
membelakanginya ke benda – benda tersebut.
‘Untuk apa jubah dan pisau
tersebut? Lastas darah siapa ini?’ Kartika mulai bingung
***
Di kelas tampak Malvi sedang
menemani Frieska yang sedang bercinta dengan ekspresi sedih. Resnaga duduk di
sudut sedang menulis sesuatu.
‘Windi dan Lena adalah sahabat
terbaikku Vin. Aku nggak rela kehilangan mereka. Apa salah mereka? Apa maksud
pembunuh itu?’ Frieska menagis saat bercerita kepada pacarnya Malvin.
‘Tenanglah Fris.. masih ada aku
kok. Setidaknya kau belum kehilangan Lena. Dia masih di rumah sakit. Aku juga
nggak tahu salah mereka apa.’ Malvin mencoba menenangkan Frieska.
‘Aku takut kalau.. kalau.. kalau
habis ini giliranku yang dibunuh.’
‘Sstt.. jangn berkata begitu,
sekarang kau aman kok. Sekolah sudah dijaga ketat oleh polisi’
Kartika pun masuk ke dalam kelas,
setelah beberapa hari ia tidak masuk sekolah karena sakit demam.
‘Pagi...’ ia menyapa dengan pelan
sesaat itu juga ia heran dengan wajah – wajah duka di kelas.
Malvin dan Frieska bangkit dari
duduk tanpa berkata apapun pada Kartika dan mereka pu keluar.
“Tika, kau sakit apa?’ Resnaga
segera menghampiri Kartika.
‘Cuma demam biasa kok. Ada apaan
sih? Kenapa anak – anak mendadak aneh. Wajah mereka seperti penuh ketakutan dan
kesedihan.’ Bertanya pada Resnaga sambil meletakkan ranselnya dan duduk di
kursinya.
‘Sekolah ini diteror. Ada 2 kasus
pembunuhan selama 2 hari ini.’
‘Haahh.. Pembunuhan?! Bagaimana
bisa?’ Kartika terbelalak kaget.
‘Tika, Windi telah meninggal dengan
sangat tragis. Dia di tusuk di kelas. Kemarin Lena dan Frieska juga hendak
dibunuh. Tapi, hanya Lena saja yang berhasil ditusuk. Keadaanya sekarang kritis
di rumah sakit. Diperkirakan pembunuh keduanya sama.’
‘Lantas siapa pembunuhnya?’
‘Entahlah. Polisi masih
menyelididki teror ini. Polisi hanya dapat keterangan dari Frieska bahwa
pembunuh itu memakai jubah dan tudung hitam, wajahnya tak tampak. Dia membawa
sebilah pisau.’
‘Jubah hitam? Pisau, katamu?
Kartika pun terdiam sejenak ‘ Tidak.. ini tidak mungkin..’ ia menggeleng tak
percaya.
‘Ada apa Kartika? Kau megenal
pembunuhnya? Kau tahu? Siapa?’
‘Res.. pembunuhnya.. pembunuhnya
adalah Ibu Kartini. Aku harus menemuinya sekarang!’ Kartika berdiri dan berlari
tergesa – gesa keluar kelas.
‘Tik, tunggu! TIK!’ Resnaga
berteriak sambil mengacungkan Map Folder yang tertinggal di mejanya.
‘Ada apa dengan anak itu? Akhir –
akhir ini dia tampak aneh’ is bergumam sambil membuka folder tersebut, di
dalamnya ia menemukan agenda milik Kartika.
‘Hm, diary Kartika. Kira – kira dia marah ngga yah kalu aku baca
isinya?’ ia pun membuka diary
tersebut. Kemudian ia menemukan sebuah kertas lecek yang terselip di salah satu
halaman. Dahinya mengerut serius tatkala membacanya.
‘Target Pembunuhan?’ ucapnya
membaca judul kertas tersebut.
***
‘Ibu, jujurlah padaku!’
‘Maksud Nduk Kartika? Ibu ta paham’ ucap Kartini sambil duduk di tepi
ranjang dengan raut muka sangat meyakinkan.
‘Apa.. apa ibu yang membunuh teman
– temanku?’
‘Temanmu? Teman siapa? Sejauh ini
hanya ibulah temanmu Nduk.’
‘Teman sekelas Tika Bu, Windi dan
Lena!’
Kartini tertawa dingin dan melipat
tangannya, suaranya berubah menjadi dingin ‘Apa mereka bisa disebut teman?
Setiap bertemu mereka menganiyayamu, menyiksamu.. tak tahukah kau ibu sangat
menyayangimu, Nduk?’
‘Jadi.. benar? Ibu adalah sosok
berjubah hitam itu?!’ Kartika berkata lirih tak percaya.
‘Ya, aku memang yang merencanakan
semuanya. Target pembunuhan selanjutnya Frieska’
‘Tidak.. tidak mungkin!’ Kartika
menggelengkan kepala kuat – kuat.
‘Aku pembunuh! Kita pembunuh kaum
perusak emansipasi!’
‘NGGAK! Kartini yang aku kenal
bukan seorang pembunuh! Kau bukan Ibu Kartini Kartini tak mungkin membunuh.’
‘Apa yang kau bicarakan? Aku
Kartini! Aku melindungi dirimu dari apapun yang kau benci!’
‘Kau jahat! Pergi dari sini!
Kembalilah ke duniamu!’ ucap Kartika sambil mendorong Kartini ke bingkai
cermin.
Kartini berusaha melawannya
‘Terserah, kau akan menyesal Nduk..
karena telah mengusirku. Api yang membersihkan api. Api itu juga yang
menghancurkan kayu menjadi abu! Camkan itu!’ Kartini pun menghilang ke dalam
cermin.
***
Di ruang kelas yang kelabu setelah
2 teror pembunuhan terjadi di kelas tersebut. Terlihat Frieska sedang duduk
terdiam , wajahnya yang pucat dan sayu. Ketika Kartika muncul segera ia
menegakkan badanya. Kartik datang dengan wajah tanpa ekspresi. Lalu ia menutup
pintu kelas dan menguncinya.
‘Ada urusan apa kau kesini?
Enyahlah kuper, aku sedang tak berselera mengolok – olokmu!’
‘Aku inin memberimu hadiah paling
indah..’ Kartika tersenyum dingin menghampiri Frieska.
‘Hadiah?’ tiba – tiba Frieska melihat
pisau yang tergenggam erat di tangan Kartika, ia terbelalak. ‘Kau ingin
membunuhku?!’
‘Kalau iya, lantas kenapa? Kemarin
kau lari, sekarag kau tak kan bisa lari lagi Frieska catik... ’ ucap Kartika
sambil berjalan semakin dekat.
Frieska lalu berdiri merapat ke
tembok ‘Jadi, kaulah sosok jubah hitam kemarin? Kau yang membunuh Windi
kan?! Aku salah apa padamu?!’
‘Kau tanya salah apa? Kau sangat
berslah! Ha.. ha.. ha.. kau telah melukai Kartika, melukai Kartini, dan melukai
Pertiwi!’
‘Aku nggak pernah lukai siapa pun..
pergi! Janagn sakiti aku! TOLONG! TOLONG AKU!’
Tiba – tiba pintu kelas terdengar
digedor keras.
‘Kartika! Kartika! Buka pintunya!’
teriak Resnaga di balik pintu.
‘Tika! Mama mohon buka pintunya!’
Ibu Kartika pun ikut berteriak.
Kartika terkejut dan menoleh ke
pintu yang masih tertutup ‘Pergi kalian dari sini! Aku Kartini! Aku akan
membunuh wanita – wanita terkutuk!’
Terdengar suara keras, dan pintu
itu pun berhasil terdobrak. Resnaga, Ibu Kartika dan Malvinmasuk dengan muka
tegang.
‘Kartika lepaskan pisau itu Kau
bukan Kartini! Kau Tika, sahabatku sejak kecil’ teriak Resnaga.
‘Kartika... maafkan Mama. Mama tak
pernah tahu kau punya kepribadian ganda. Lepaskan jiwa jahatmu Nak.’
‘Please Kartika.. kumohon lepaska Frieska. Maafkan dia.. maafkan aku
juga’ Malvin pun memelas kepada Kartika.
‘Persetan kalian semua!!!’ Kartika
lalu menarik tubuh Frieska lalu mencengkram leher gadis tersebut. Ujung pisau
itu pun ditempelkanya pada kulit mulus Frieska. ‘Jangan berani mendekat!’
‘Kartika, sadarlah! Bangunlah Tik!
Kau adalah Kartika saahabat terbaikku. Kau adalah gadis baik. Kau bukan
pembunuh. Dan Kartini hanya kepribadian yang tak kau sadari saja Tik. Tenangkan
hatimu Tika..’ Resnaga berusaha menyadarkan Kartika.
Kartika pun oleng kehilangan
keseimbangannya, mendadak ia merasa pusing. Cengkeeramannya pada Frieska
mengendor, seketika Frieska berhasil membebaskan diri dan berlari dan berlari
menuju Malvin.
‘Aku.. aku.. pembunuh. Aku membunuh
orang – orang di dekatku. Pergi dari sini! Lekas! Aku tak mau jiwaku yang
satunnya membunuh kalian! Pergi!’ Kartika mangacungkan pisaunya ke atas.
‘Tidak! Aku tak mau pergi! Karena
aku sangat mencintaimu..’ ucap Resnaga.
Seketika seisi kelas hening
sejenak.
Kartika terisak sambil tersenyum getir ‘Maaf
Res.. aku nggak bisa. Ak.. aku.. sudah terlanjur membunuh, aku nggak mau
ngebunuh Frieska, Mama, Malvin dan kau.. Kalau kalian tak maun menjauhiku
akulah yang harus pergi,’ dengan cepat Frieska menusukkan pisau tersebut ke
jantunyanya.
‘TIDAKKK!!!!’ teriak Ibu Kartika histeris
dan ia pun mendadak pingsan.
Tubuh Kartika tersungkur jatuh di
lantai. Menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Antara kehdupan
dan kematian ia masih bisa tersenyum menahan sakit. Resnaga segera berlari
menghampirinya.
‘Terima kasih.. ak.. aku sayang
kali.. an semua, khususnya eng.. kau Resnaga.. Selamat tinggal’ ucap kartika
sambil perlahan memejamkan matanya.
“Sampai aku menarik napas yang
penghabisan, akan tetap aku berterima kasih pada kalian dan mengucap syukur
akan kasih kalian kepadaku. Seorang buta yang diperbuat melihat, sekali – kali
tiada menyesal, matanya dibukakan orang karena bukan barang yang indah – indah
saja yang menjadi terlihat olehku dan kalian.
-R.
A. Kartini-”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar