Rabu, 01 Juli 2015

Cerpen "Kartini Berdarah"

Ini cerpen tulisan pertamaku, selamat membaca :

Kartini Berdarah

Ruangan yang begitu nyaman di tempati dengan dominasi warna putih dimana – mana. Terdapat sebuah ranjang kayu kecil nan indah bersprei putih bermotif bunga mawar, di sampingnya sebuah meja belajar kayu dengan lampu belajar serta tumpukan buku biografi R.A. Kartini dilengkapi kursi putar berwarna putih. Dinding kamar yang bercat putih itu pun banyak dihiasi gambar – gambar R.A. Kartini berukuran A3.
Lampu nan terang menyinari kamar tesebut, terlihat seorang gadis mengenakan piyama yang berumur 17 tahun sedang membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang disusun oleh Armijin Pane di meja belajarnya dengan seriusnya.
‘Daripada mati itu akan tumbuh kehidupan baru. Kehidupan baru itu tiada dapat di tahan , dan meskipun sekarang dapat juga ditahan – tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama makin kuat, makin teguh.’
  Tiba – tiba terdengar suara pintu diketuk dan suara panggilan untuk Kartika nama gadis itu.
‘Kartika? Kartika?! Buka Pintunya! Hari masihlah sore, gemarkah kau untuk tidur? Bukalah! Lekas!’
Dengan menghela napas panjang Kartika pun menutup bukunya dan bangkit untuk membuka pintu kamarnya.
‘Astaga! Sesore ini kau sudah siap berpiyama? Bisakah kau tidak bermalas – masalasan saja?’ kata Ibu Kartika yang menatap Kartika seolah tidak percaya, ditangannya ia membawa tas kecil yang dibelinya di Paris. Dibelakangnya terlihat 2 orang pesuruh sedang menggotong sebuah benda setinggi 2 meter berbungkus kertas cokelat.
‘Ma, Kartika sedang membaca buku, bukan sedang tidur’ bela Kartika pelan, sambil mengangkat buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
‘Oh terserahlah, kau pasti membaca buku cerita. Itu sama saja dengan tidur. Sia – sia belaka.’
Ibu Kartika pun masuk ke kamar Kartika ‘Pak, bawa masuk kesini. Letakkan disini saja, ya bagus, kalian bisa keluar sekarang. Teerima kasih.’ 2 orang pesuruh tadi pun keluar dari kamar Kartika.
‘Apa ini Ma?’ kata Kartika sambil menghampiri benda tinggi yang berbungkusan cokelat tersebut merasa penasaran.
Ibu Kartika pun duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu hak tingginya.
'Mama bawakan oleh – oleh untukmu. Bukalah, kau pasti suka. Itu dari Jepara. Asli!’ sambil tersenyum menunjuk bungkusan tersebut pada Kartika.
‘Lukisan R.A. Kartini, Ma?!’  tanya Kartika sambil menyobek bungkusan tersebut dengan semangat.
‘Bukan , itu lebih bermanfaat buat kamu.’
Kartika hanya bisa tertegun mendapati sebuah bingkai kayu jati selebar setengah meter dan setinggi 2 meter. Sekeliling tepinya penuh dengan ukiran berbentuk sulur – sulur. Pada kaki cermin juga berukir berbentuk bonggol akar yang kokoh. Warna bingkai cokelat tua berpelitur mengkilat.
‘Kenapa? Kau tak suka cermin itu?’ kata Ibu Kartika saat melihat anaknya tertegun melihat kaca itu.
‘Buat apa Ma? Tika rasa cermin ini terlalu besar untuk kamar ini.’ Berkata dengan lirih sambil melirik bingkai kayu tersebut tanpa minat.
‘Oh ya! Kartika sedang baca buku R.A. Kartini, Ma.. bagus sekali ceritanya. Mama mau baca?’ seru Kartika mendadak sambil menyodorkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dengan wajah berseri.
‘Tika! Berhentilah membaca buku – buku konyol seperti ini! Sekarang bukan saatnya kau mengenang jasa Kartini. Tapi manfaatkanlah jasanya sebaik mungkin. Mana prestasi yang dapat kau berikan buat Mama? Kerjakan tugasmu dan belajarlah yang tekun. Harusnya kau bersyukur emansipasi menjadikanmu pelajar sampai sekarang dan Mama seorang manager perusahaan besar’ kata Ibu Kartika dengan lantang.
‘Mama sama sekali tak berminat baca ini?’ kata Kartika sambil masih menyodorkan buku tersebut.
‘Ya.. ya.. ya.. Mama akan baca jika Mama sudah pulang dari dinas ke Bandung 2 minggu ini. Oke?’
‘Tapi Mama kan baru saja pulang dari Semarang?’ Kartika bingung sambil meletakkan buku itu kembali ke meja belajar.
‘Mama mendadak ditugaskan atasan untuk mengurusi proyek yang baru. Sudahlah, mama capek. Mama hendak beristirahat.’ Sambil bangkit dari sisi ranjang dan menguap.
‘Oh ya, cermin itu digunakan baik – baik. Kau harus banyak merias diri, berlatih berbicara di depan umum dan menjadi seorang gadis teladan yang menyenangkan.’
‘Maksud Mama?’ Kartika bertanya tidak mengerti maksud dari perkataan Ibunya tersebut.
‘Bulan depan ada pesta peresmian kantor baru Mama. Kau harus ikut, Mama ingin mengenalkanmu dengan anak kolega Mama. Malam Sayang..’ Mengecup kening Kartika sambil berlalu beranjak keluar kamar.
***

Pagi hari di sebuah kelas di SMA Dwi Warna. Terdapat ruang kelas dengan bangku – bangku kayu, papan tulis dan meja guru yang terlihat baru. Dinding kelas yang berwarna biru serta jendela besar yang di hiasi gambar – gambar pahlawan. Dengan bangku – bangku yang masih kosong dan beberapa bungkus jajan berserakan. Seorang pemuda tampan sedang duduk di meja guru sambil mendengarkan sebuah lagu dari Ipod. Seorang pemuda lain yang sederhana membawa sapu di tangannya lalu ia menghampiri pemuda tampan itu.
‘Malvin, hari ini piketmu!’ kata Resnaga sang pemuda sederhana itu sambil menyodorkan sapu. Namun laki – laki yang duduk tadi pun acuh sambil menggoyangkan kepalanya menikmati lagu.
‘Malvin, hari ini piketmu!’ Resnaga pun berteriak lebih nyaring. Masih saja Malvin tetap acuh bahkan lebih keras menggoyang – goyangkan kepalanya.
‘Biar aku saja, mana sapunya?’ Tiba – tiba Kartika muncul dari balik pintu.
‘Mengapa kau begitu baik hati? Malvin tak pernah piket, kau tahu?’ protes Resnaga agak keras menunjuk Malvin. Sedangkan Malvin melepas earphone.
‘Karena aku.. aku..’ Kartika gugup dan terbata – bata saat melihat Malvin menatapnya tajam.
‘Karena dia memang seorang pembantu! Ha.. ha.. ha..’ tiba – tiba seorang wanita muncul dibalik pintu dengan suara nyaring, dialah Frieska pacar dari Malvin. Dibelakangnya ada Lena dan Windi mengikuti sambil tertawa cekikikan.
‘Oh, sungguh malang.. udah kuper, culun, kacamata pantat botol, pembokat lagi! Hi.. hi.. hi..’ Windi mencaci Kartika yang tertunduk lesu.
‘Nih , sekalian ngepel lantai!’ Lena ikut mencibir sambil melempar kain lap yang ada di salah satu bangku.
‘Kalian jangan seenaknya pada Kartika.’ Resnaga membela Kartika sambil merebut sapu dari tangan Kartika.
‘Malvin, piketlah! Apa kau tidak malu kewajibanmu diambil alih Kartika?’ kata Resnaga melempar sapu ke Malvin.
‘Bah! Aku laki – laki. Menjijikan sekali aku harus menyapu. Itu memang tugas perempuan!’ sambil melempar sapu ke lantai
‘Ayo kita pergi!’ Malvin sambil menggandeng Frieska keluar kelas diikuti Lena dan Windi yang menyibir ke arah Resnaga dan Kartika.
‘Ahhhh.. aku tak habis pikir. Mengapa kau selalu mengerjakan tugas – tugas Malvin dengan ringan tanagn?’ sambil mendesah panjang  Resnaga menatap Kartika dengan iba.
Terdiam beberapa saat Kartika pun menatap Resnaga sambil berujar pelan ‘Ress, apa kau tak pernah mendengar cinta itu butuh pengorbanan?’ kemudian ia pun pergi meninggalkan kelas.
Resnaga bergumam lirih ‘ Aku telah lama berkorban untukmu Kartika.. Hanya saja kau tak pernah tahu’ mengambil sapu lalu dia menyapu dengan perlahan.
***

Sore hari yang kelabu, hanya secercah cahaya yang dapat masuk ke kamar Kartika. Karena cermin besar itu hampir menutupi sebagian jendela. Kartika pun masuk ke dalam kamar, dan masih mengenakan seragam sekolah. Dan menghampiri meja untuk meletakkan tas dan bukunya. Kemudian ia berjalan menghampiri cermin Jepara itu.
‘Indah nian kau cermin.. wahai benda antik Jepara’ Kartika mengelus ukiran – ukiran di tepian cermin dengan perlahan.
‘Kau ingatkanku pada Ibu Kartini.. andaikan kau adalah penghubung masa ini ke masa lalu, akan ku temui Ibu Kartini.. akan kuceritakan semua jasanya telah mengubah zaman dan nasib perempuan. Namun aku masih terkurung disini.. layaknya Ibu kita dipigit dan tak kuasa menanggung senyap..’ bernada sedih sambil meratap pada kaca tersebut.
‘Oh, betapa sunyinya hidupku. Tak pernah dicintai dan Malvin pun tak pernah menoleh padaku, haruskah aku mengubah diriku menjadi gadis – gadis seperti geng parfume? Andaikan, ibu Kartini kemari.. mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia.’
Tiba – tiba lampu kamar padam, cahaya merah berkerlap – kerlip dan terdengar suara desauan angin.
‘Oh, ada apakah ini?’ Kartika tersentak kaget ketakutan, ia pun berlari ke atas ranjang.
Sesosok wanita muncul dari bingkai cermin Jepara, dan melangkah keluar menghampiri ranjang. Lampu pun kembali menyala terang dan suasana kembali normal.
‘Nduk, tenanglah... iki ibumu’ kata seorang wanita sambil tersenyum lembut.
‘Siapa kau?!’ Kartika semakin duduk menyudut di ranjang sambil memeluk kedua lutunya. Wajahnya luar biasa ketakutan.
‘Aku Kartini. Aku yang selama ini kau tuturkan di lembaran – lembaran kertas buku harianmu. Aku yang selama ini kau rayakan setiap tanggal 21 April, sama dengan hari lahirmu juga kan, Nduk?’
‘Kau Kartini? Raden Ajeng Kartini? Benarkah? Bagaimana kau bisa tau aku?’ Kartika pun mulai tenang dan mengendurkan pelukkan lututnya.
‘Ya, aku Raden Ajeng Kartini. Namun, apalah arti sebuah stastus ningrat jika Raden Ajeng harus hidup di penjara sangkar emas? Dikelilingi 4 tembok serasa kebebasan adalah kebahagian terbesar’ sambil tersenyum ramah Kartini berujar.
‘Bagaimana Ibu bisa daatang kemari? Sudikah ibu bersahabat dengan gadis memalukan seperti saya ini?’ Kartika masih heran akan kedatangan Ibu Kartini.
‘Oh, Nduk... tiada boleh kau berkata seperti itu. Ingin benar hatiku berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang aku sukai dengan hati jantungku. Anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah tangkas, yang berdaya upaya bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk bangsa.. Ibu datang dari jauh untuk mendengarkan segala kegundahan hatimu. Anggaplah aku sahabat penamu yang akhirnya berkunjung menengok seperti tatkala aku bersua dengan Nyonya Abendanon.’
‘Ibu...! Kartika rindu sekali pada Ibu. Setiap malam Kartika diam – diam membaca buku tentang Ibu. Berhati – hati kalau Mama sampai menangkap basah Kartika, dan membuang segala yang kartika koleksi tentang Ibu’ Kartika menghambur memeluk Kartini sambil terisak – isak.
‘Sshh.. Yakini, ibu juga merindukan sosok gadis berhati suci sepertimu. Tidurlah, besok kau sekolah bukan? Betapa beruntungnya dirimu yang hidup di dunia pencinta kebebasan. Bukankah begitu Nduk?’ Kartini berujar sambil membelai rambut Kartika.
‘Ibu benar. Emansipasi menghapus diskriminasi untuk golongan kita. Dan ibu pasti senang melihat jasa ibu terlampau besar untuk Indonesia’ sambil mengangguk lemah.
‘Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang – lubanhnya. Jalan itu berbatu – batu, berlekuk – lekuk, licin, jalan itu.. belum dirintis! Dan biarpun aku tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya kini telah terbuka lebar.’
***

Di kelas terdengar suara gaduh yang dibuat oleh 3 orang siswi geng parfume yaitu Frieska, Lena dan Windi. Terlihat ketua  geng Parfume yang duduk di slah satu meja dengan muka yang berbinar bahagia.
‘Oh, kemarin malam adalah pesta terkeren sepanjang hidupku. Seperti mandi keringat aku ikut dugem di dancefloor, 4 kali bolak balik ganti pasangan. Sungguh menyenangkan!’ Frieska berujar sambil tertawa cekikikan.
‘Iya tentu saja kau bolak balik pasangan.. bukankah kita bertiga sungguh seksi tadi malam?’ Windi menimpali.
‘Ya jelaslah. Apalagi kau kemarin mabuk berat Windi. Hei, tidak ingatkah kau? Kemarin kau membuka setengah bajumu dan bergoyang sungguh panas!’
‘Oh ya?! Bagaimana reaksi cowok – cowok itu?’ Windi memekik girang menimpali Frieska.
‘Wow! Mata mereka seketika hijau! Dan langsung teler melihatmu!’ Lena yang dari tadi hanya diam kini mulai ikut berbicara.
‘Air liur mereka sampai menetes di gelas cokctail’ kata Frieska.
Mereka pun tertawa bersama dengan nyarinya. Kartika muncul dari balik pintu, tangannya mendekap tumpukan buku.
Lena pun memanggil Kartika ‘Hei, kau! Kesini... Iya kamu, Cepat!’ seketika tawa mereka menghilang, wajah centil mereka pun berubah menjadi beringas. Kartika pun berjalan dengan menundukk ketakutan.
‘Jalan lelet amat! Rupanya hendk bersing dengan kura – kura! Darimana saja kau, Kuper?!’ Frieska bertanya sambil membentak.
 Kartika dengan gagap menjawab ‘Da.. da.. ri.. P.. per pustakaan’
‘Hei! Kalo ngomong yang tegas!’ Lena berbicara sambil menepuk pipi Kartika.
‘Iya nih, berminat ya gadis sok bisu? Udah kuper, siapa yang mau repot – repotmelirikmu? Apalagi.. hi.. hi.. hi.. lihat deh, apa bawaannya?’ Windi berujar sambil menarik – narik kacamata  Kartika.
Frieska pun mulai turun dari meja dan berdiri dengan segera ian merebut buku – buku yang didekap Kartika. ‘Ya ampun! Hari gini.. ngga salah baca, kau? Kartini? Memang masih zaman? Hm..’ ia pun membaca satu persatu judul buku – buku itu.
‘Ada R.A. Kartini, Kartini Sebuah Biografi, dan .. astaga! Judul ini jadul banget, Habis Gelap Terbitlah Terang. Eh, pernah dengar nggak kalian?’ Frieska berkata sambil menoleh ke Windi dan Lena yang menggelengkan kepala bersamaan sambil mencibir.
‘Yang aku tahu sih adanya Habis gelap total terbitlah tagihan PLN, belum bayar listrik kalee..’ Windi dengan nyaringnya ia tertawa setelah berkata begitu.
Frieska dan Lena pun tertawa terbahak – bahak bersamaan.
‘Kembalikan! Kembalikan.. buku itu!’ Kartika berusaha merebut buku yang dipegang Frieska.
‘Oh. Dear.. Len, tahan dia!’ Frieska memerintah dengan keras. Segera setelah mendengar perintah Frieska, Lena pun mengunci kedua lengan Kartika ke belakang punggunnya.
‘Coba kita baca sekilas buku macam apa ini, Sobat.’ Frieska berdehem, lalu dengan mimik so serius ia membuka salah satu halaman buku R.A. Kartini karangan Tashadi.
‘Denger ya, salah satu kutipan surat Ibu kita tercinta “Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis Bumiputera akan menempuh hidup, ialah kawin.’ Mereka bertiga pun tertawa gelak setelh Frieska membaca buku tersebut.
‘Hari gini.. kawin? Emang Siti Nurbaya?’
‘Wah, wah, wah pantas saja kau jadi anak kuper.. bacaanmu masih seputar zaman tempoe doeloe.. parah!’ setelah Lena berbicara Windi pun menimpalinya dengan cibiran.
‘Oke, sebagai teman yang baik bagaimana kalo kami membantumu sembuh dari ke-kuper-an?’ tanpa menunggu jawaban dari Kartika yang sibuk melepaskan diri dari cengkraman Lena, kini Frieska merobek buku – buku tersebut. Kraaak.. Kraaak.. Kraak.. Segera lembaran buku Kartini berserakan di lantai kelas. Kemudian dengan bernafsu Frieska dan Windi menginjak – injaknya.
Dengan memelas kepada mereka Kartika berkata ‘Kumohon hentikan...! jangan disobek! Kumohon...’  Kartika yang sedari tadi terus – terusan berontak kemudian Lena mulai mengendorkan cengkramannya. Seketika itu pula Kartika menyerang Frieska untuk menghentikannya.
‘Nih, kita ngga butuh bacaan ginian!’ Frieska pun melempar buku – buku Kartini ke lantai dan segera menginjaknya juga.
Seketika itu juga Kartika menunduk dan melindungi buku – buku tersebut. Berkali – kali Frieska dan kedua teman – temannya menendang Kartika.
‘Rasakan! Dasar penyembah buku!’ Lena menendang Kartika dengan keras.
Malvin pun muncul dari balik pintu, menggeleng – gelengkan kepala melihat Geng Parfume sedang menyiksa Kartika.
‘Sudah hentikan Frieska, Lena, Windi!’ seru Malvin agak keras.
‘Tapi Sayang, anak ini rese’ sekali tadi, Huh! Masa’ akau sama anak – anak tidak diconetekin pas ulangan Fisiska?’ Frieska pun menghentikan acara menyiksa lalu menghampiri Malvin dan mengeluh manja.
‘Salah kalian sendiri tidak belajar. Sekarang berhentilah main – mainnya, katanya kita mau jalan – jalan?’
‘Ayo, kita tinggalkan dia!’ Frieska memberi aba – aba kepada teman – temannya.
Setelah keempat murid tadi pergi keluar dari kelas, Resnaga muncul dan keheranan melihat Kartika sedang memunguti sobekan kertas dan berusaha menyusunnya.
‘Kartika? Kok belum pulang?’ Resnaga bertanya heran.
Kartika pun menoleh ke asal suara dan memaksakan senyum ‘Oh, kau.. Res. Iya, aku habis dari perpus.’
‘Kau sedang apa? Hei, apa yang terjadi?’ menghampiri Kartika dan membantu memunguti buku – buku yang berserakan.
‘Aku sedang melindungi harta bangsa. Sisa – sia pengabdian ibu kita.’
‘Ibu kita? Siapa?’ Resnaga merasa heran
Kartika terbelalak menatap Resnaga tak percaya ‘Tak tahukah kau? Raden Ajeng Kartini! Beliau Ibu kita semua bukan? Beliau sungguh baik hati. Beliau sangat keibuan, belaiannya sangat lembut.. ah, aku masih bisa merasakannya. Hm, kira – kira sekarang Ibu sedang apa ya?’ Kartika berujar sambil memainkan rambutnya.
‘Kartika, kau baik – baik saja kan?’ Resnaga berkata sambil menyentuh kening Kartika dengan lembut.
‘Apa maksudmu?!’ menepis tangan Resnaga dangan kasar.
‘Aku mengkhawatirkanmu. Lagipula.. bukankah Kartini sudah tiada? Bagaimana bisa kau merasa belaiannya’
‘Beliau masih hidup kok! Beliau sengaja datang dari jauh untuk menemaniku. Ah, sudahlah. Pasti kau tak kan percaya. Lebih baik aku pulang saja. Sampai jumpa.’ Sambil berdiri dan memasukkan buku –buku ke dalam tas dan kemudian beranjak pergi
***

Sore hari yang menunjukkan pukul 4 sore, Ibu Kartika terlihat berdiri monda – mandir sambil sesekali menengok jam yang melingkar di lengan kirinya.
 ‘Oh, Hari sudah sore. Kartika tak kunjung pulang, kemana saja anak itu? Tak tahukah dia kalau hari ini Keluarga Gana akan berkunjung kemari?’
Tiba – tiba perhatiannya tertarik pada sebuah buku agenda bersampul merah di atas meja belajar ‘Diary? Kartika menulis Diary? Hm.. boleh juga. Aku penasaran dengan isinya.’ Ia pun mulai duduk dan membaca buku agenda tersebut.
 Saat itu juga Kartika mendadak muncul dari balik pintu ‘Mama? Mama baca diary-ku?!’ Kartika terkejut melihat buku agendanya di baca Mamanya dan seketika itu juga Mamanya langsung mengembalikanny ke atas meja.
 ‘Iya. Apa tidak boleh? Kau adalah anak Mama. Urusan pribadimu otomatis urusan Mama juga.’
‘Tapi Ma..’
‘Tapi apa? Mama tahu kamu sekarang sedang menyukai teman sekelasmu. Siapa Malvin itu?’
Kartika hanya bisa terdiam dan menunduk.
‘Dengarkan Mama Kartika. Kau harus jatuh cinta oada lelaki yang tepat! Jangan sampai kau mendapat lelaki brengsek seperti papamu. Turuti saja pilihan Mama. Kau pasti suka. Sekarang lekaslah mandi dan berandan yang cantik. Keluarga Gana akan datang dan makan malam bersama kita.’
‘Siapa mereka Ma?’ Kartika bertanya sambil menongakkan kepalanya.
‘Tentu saja calon keluarga barumu!’ Jawab Ibu Kartika sambil berlalu keluar kamar Kartika.
Kartika pun terduduk lemas di ranjangnya sambil memeluk buku R.A. Kartini dan mulai terisak sedih. Tiba – tiba Kartini keluar bingkai cermin jepara dan kemudian berjalan menghampiri Kartika, duduk di sampinya sambil membelai rambut Kartika dengan lembut.
‘Anakku, ceritakan lah semuanya pada Ibu, agar lapang dadamu.’
‘Hikss.. Ibu.. saya hendak dijodohkan hikss.. oleh Mama saya. Saya nggak mau. Saya mencintai pemuda lain’ ucap Kartika sambil menangis terisak.
‘Cinta, apakah yang kau ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kau akan mungkin sayang akan seorang laki – laki dan seorang laki – laki kasih akan kau, kalau tiada berkenalan bahkan yang seorang tiada boleh dapat berdiri – sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan.. jangan sekali – kali dipaksa kawin!’
‘Ibu, mengapa hidup saya sangatlah sengsara? Saya tak pernah bahagia tak terkira terkecuali bertemu dengan Ibu. Hanya Ibu yang mengerti hati saya. Maafkan saya Bu, tidak bisa melindungi buku – buku Ibu. Teman – teman sekelas saya mencoba menyobeknya tadi siang dan mereka selalu menyiksa saya.’
‘Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak ini di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya! Sabar ya Nduk..’
***

Malvin dan Frieska tampak bermesra – mesraan di kelas yang kosong siang itu. Mereka saling menggoda dan tertawa. Kemudian Frieska bergelayut manja pada Malvin. Mereka berdua berpegangan tangan. Dari arah pintu, kartika berjalan cepat sambil menunduk. Ia terperangah melihat pemandangan tak pantas di kelas. Seketika itu juga buku – buku yang didekap Frieska pun jatuh berdebam ke lantai.
‘Oh kau Tik, aku kira guru’ kata Malvin sambil refleks melepas genggaman tangannnya dengan Frieska.
‘Hei, kuper! Ngapain kesini? Ganggu orang pacaran saja!’ Frieska membentak  dengan keras.
‘Ma.. maaf.. aku. Nggak tahu kalau kalia..’ dengan gugup Kartika menjawab.
‘Nggak tahu apa? Bilang saja iri!’ dengan berkacak pinggang lalu Frieska pun bangkit berjalan menghampiri Kartika.
Windi dan Lena pun masuk ke dalam kelas, lalu Lena memungut buku agenda yang terjatuh bersamaan dengan buku – buku yang lain.
‘Apa ini?’ teriak Lena.
Kartika pun menoleh terkejut.
‘Lihat! Ck.. ck.. ck.. tak kusangka!’ Lena makin berteriak sambil menunjukkan sebuah halaman dari agenda tersebut ke teman – temannya. Sebuah tulisan dengan huruf besar – besar berbunyi “AKU CINTA MALVIN”.
Frieska mendelik marah ‘ Kau cinta Malvin? Kau menyukai cowokku? Bisa – bisanya kau..’ Pllak! Sambil menampar kartika dengan keras.
Malvin menghampiri mereka berdua. Kemudian mengambil alih agenda yang dipegang Lena dan tertawa terbahak – bahak.
‘Wah wah wah, aku tak menyangka tipe cowokmu seperti aku Tika. Kukira seperti Resnaga yang culun.’
Lena, Windi daan Frieska pun tertawa keras medengar perkataan Malvin.
‘Kartika.. Kartika.. bercerminlah dulu sebelum kau menyukai seseorang! Kau itu SANGAT TIDAK PANTAS buatku yang kaya, tampan dan idola semua cewek! Maaf Kartika.. lebih baik kau berhenti menulis namaku di diarymu, buang – buang kertas saja’ ucap Malvin sambil menghampiri Lena dan membolak – baliknya dengan antusias.
‘Iya, kau itu seperti pungguk merindukan bulan!’ ucap Windi.
‘Bukan, tapi seperti langit dan bumi!’ timpal Lena.
‘Eh, salah lagi. Lebih mirip kutu dan pangeran!’ Frieska ikut berbicara.
Malvin dan geng Parfume tertawa sangat keras.
‘Dasar gadis lugu. Ayo kita pergi!’ ucap Malvin sambil merangkul Frieska yang tersenyum sinis pada Kartika yang sedari tadi menunduk. Lena dan Windi pun beranjak keluar mengikuti mereka.
***

Kartini berjalan mondar – mandir dikamar Kartika sambil bergumam sendiri
‘Oh, ankku yang malang.. aku tahu semua perbuatan keji yang dilakukkan mereka! Seperti Belanda menjajah anak pribumi. Namun, pantaskah saudara menjajah saudaranya sendiri? Tiada satu pun jua boleh menyakiti Kartika.’
‘Aku pulang..’ muncul dari balik pintu.
‘Masuklah Nduk.Ssh.. jangan berkata apa pun. Ibu tahu perasaanmu.’
‘Bagaimana Ibu bisa tahu?’
‘Apa kau lupa dengan tujuan Ibu kemari? Setiap hari aku melihat – lihat dunia masa sekarang yang sangat pesat peradabannya. Namun, aku iba hati ini tatkala aku menjumpai berbagai macam perempuan seperti mereka. Karena bukan barang yang indah – indah saja yang terlihat olehku.’
‘Maksud Ibu? Perempuan yang seperti apa?’
Lalu Kartini menhela nafas panjang sambil duduk di kursi ‘Apalah artinya perjuangan Ibu selama ini? Emansifatie yang mendarah daging telah disalahgunakan.’
Kartika pun duduk di tepi ranjang ‘Maksud Ibu? Kartika semakin tak mengerti. Jasa Ibu sungguhlah besar.’
‘Namun mereka tak tahu bagaimana mengamalkannya! Ibu tak kan berjuang jika akhirnya mengetahui betapa mengerikannya sikap perempuan masa ini. Mereka berjalan dengan busana ala kadarnya, seperti memang lebih mengasyikkan tuk telanjang. Emasipasi juga telah mengubah mereka untuk terus mengejar pekerjaan dan menyiakan suami dan anak – anak mereka. Pantaskah perempuan seperti itu? Mereka tidaklah boleh melupakan sama sekali adat dan norma. Oh, namun betapa memalukan mereka berjalan, bernapas, bertigkah laku layaknya perempuan binal tak punya urat kemaluan!’ dengan lantang dan penuh emosi Kartini berbicara.
‘Oh, Ibu. Sungguh besar derita bebanmu. Namun, masih banyak perempuan di bumi Indonesia yang mempunyai akhlak mullia seperti Ibu.’
‘Ya, kau benar Anakku. Alangkah susahnya dan sedihnya akan patah rasanya hidupku jika semua yang kutuangkan dalam ratusan lembar surat dinodai oleh tinta yang lebih pekat. Namun aku tahu, diliteran tinta kami masih meiliki asa. Dan kau pikul cita – citaku selanjutnya, kau emban dan kau simpan dalam sanubari terdalam. Engkau jiwa yang suci Nduk.. janga sampai ternoda.’
‘Ah, aku hanyalah gadis lemah, rapuh dan tak berdaya. Sia – sia saja aku, jika orang yang kukasihi pun mengolokku.’
‘Hapus air matamu, sudaah saatya kau hapus noda yang mengotori halaman – halaman kisah hidupmu.’ Ucap Kartini sambil mencoba menenangkan Kartika.
***

Sore hari di ruang kelas yang kosong karena jam pelajaran telah berakhir. Hanya tersisa beberapa murid saja, dan sudah ingin pulang karena sudah selesai melakukan ekstrakulikuler. Salah satunya ialah Windi yang beridiri membelakangi pintu masuk sambil seang bertelponan dengan sangat manja dan centil.
‘Iya.. Sayang.. aku habis ini tunggu kamu di depan gerbang sekolah ya? Jangan ngaret lho! Awas! Nanti kita booking tempat yang biasa saja. Iya, ngerti ngga sih maksudku? Aku lagi bokek nih, omm...’
Tiba – tiba sesosok hitam masuk ke dalam kelas. Sosok tersebut memakai jubah hitam panjang menutupsampai mata kaki dan tudung yang melindungi wajahnya,di tangan kanannya memegang  sebuah pisau tajam.
‘Oke deh Sayang... sampai ketemu nanti’ Windi pun menutup pembicaraan teleponnya itu dan saat ia berbalik seketika ia berteriak tertahan.
Windi jatuh tersungkur di lantai kelas dengan darah membanjiri dari perutnya.
***

‘Astaga Kartika! Badanmu panas sekali! Kau harus banyak istirahat. Jangan baca buku – buku cerita lagi. Pasti kau kecapekan’ Ibu Kartika menggeleng – gelengkan kepala saat melihat angka yang ditunjukan thermometer suhu badan.
Kartika hanya bisa membisu di balik selimut tebal.
‘Kau harus makan yang banyak . nanti Mama pesankan bubur ayam kalau lewat di depan rumah.’
Kartika masih membisu, tangannya mendekap erat diary dan gambar R.A. Kartini.
‘Oke,  terserah kau saja. Ibu sudah capek melihatmu akhir –akhir ini seperti kehilangan gairah hidup. Tapi ibu tak bisa menungguimu lebih lama. Ibu ada meeting di kantor hari ini. Jadi, kalau ada apa – apa kau bisa hubungi Ibu lewat telepon saja.’
Namun Kartika masih mebisu dengan tatapan mata kosong ke depan.
‘Sampai jumpa nanti malam Sayang..’ sambil mengecup dahi Kartika kemudian berlalu keluar.
***

Pagi yang cerah, menyinari kelas yang masih kosong. Masih sedikit murid yang berdatangan kesekolah. Di kelas Kartika, terlihat sosok yang sama, memakai jubah hitam dan tudung. Duduk di salah satu bangku sambil menunduk. Tidak beberapa lama Lena dan Frieska masuk ke dalam kelas. Langkah mereka terhenti ketika menjumpai sosok berkerudung hitam duduk tak bergerak.
‘Siapa kau?!’ Frieska berteriak nyaring lalu raut mukanya mendadak berubah ketakutan.
Sosok itu masih tidak bergerak.
‘Fries.. apa jangan – jangan.. Dia yang ngebunuh Windi?’ ucap Lena dengan nada takut bercampur ragu.
‘Aku ngga tahu. Hei, jawab! Kau tuli ya? Kau siapa? Jangan bercanda! Ini nggak lucu!’.
Masih tidak ada reaksi.
‘Oke, sebentar Fries.. janagn – jangan dia orang gila yang ketiduran di kelas. Aku akan buka kerudungnya.’ Lena pun berjalan menhampiri sosok tak bergerak tersebut.
‘Janagn Len! Aku takut! Lebih baik kita lapor guru atau kepala sekolah.’ Sambil Frieska menahan lengan Lena.
‘Ya ampun Frieska.. gini aja takut. Kau lupa aku sudah pegang sabuk hitam?’
‘Tapi..’ Frieska ragu – ragu dengan apa yang dilakukan Lena.
‘Sudah, diamlah disini..’
Lalu Lena berjalan dengan penuh waspada, semakin mendekat ke sosok tersebut. Saat Lena sudah berdiri di depan bangku dimana sosok itu duduk tak bergerak. Tangannya terjulur hendak membuka tudung kepala sosok tersebut. Namun, secepat kilat sosok itu bergerak, bangkit dan langsung menusukkan pisau yang sedari tadi dipegangnya di balik jubah ke perut Lena.
‘AAAAAAAAA...!’ Frieska memekik nyaring dan segera berlari keluar kelas mencari bantuan.
***

Kartika masih terbaring saki di kamarnya. Ia setengah berbaring di ranjang, dan ia menulis sesuatu di agendanya. Pintu kamar tiba – tiba terbuka, Kartini masuk bersamaan dengan cahaya lampu dari luar kamar ke dalam dan tersenyum ramah melihat Kartika.
Kartika menoleh kearah datanganya cahaya dan membalas senyuman Kartini dengan lemah ‘Ibu arimana saja?’
‘Tidak begitu penting. Hanya menghapus noda’ Kartini berkata sambil berjalan menghampiri Kartika dan memegang keningnya dengan lembut.
‘Itu apa?’ tanya Kartika menunjuk bungkusan tas plastik hitam yag dibawa Kartini.
‘Oh, ini.. tidak penting kok. Bagaimana keadaanmu Nduk? Mau Ibu buatkan wedang jahe? Atau bubur?’ jawab Kartini sambil memasukkan bungkusan itu ke kolong ranjang.
‘Nggak perlu Bu. Saya sudah agak mendingan. Mungkin besok saya sudah diijinkan Mama  masuk sekolah. Mmm.. Ibu terlihat letih. Ibu mau tidur di samping saya?’
Sambil mengangguk kalem Kartini menjawab ‘Ya, Ibu sangat lelah. Bolehkah Ibu tidur dekat dinding? Rasanya pasti dingin.’
‘Tentu saja, dengan seneng hati’ Kartika menjawab dengan nada ceria dan langsung bangkitmengganti posisi tidurnya.
Kartini pun naik ke ranjang dan langsung tertidur lelap. Sedang Kartika masih sibuk menulis diary sambil sesekali memandang Kartini. Tiba – tiba penanya terjatuh ke lantai. Kartika bergegas turun dari ranjang, hendak memungut penanya. Namun, perhatian sejenak teralih sesaat melihat bungkusan hitam milik Kartini. Dengan hati – hati ditariknya keluar bungkusan hitam tersebur dari kolong ranjang.
‘Hmm.. apa yah ini? Ibu Kartini kemana saja sih seharian ini? Tumben juga bawa oleh – oleh..’ Kartika penasaran lalu membukaplastik hitam tersebut. Ia tak menyangka kalau ia menmukan jubah hitam dan sebilah pisau berlumuran darah. Kartika memegang semua benda tersebut dengan raut muka ketakutan. Ia bolak – balik memandang Kartini yang masih membelakanginya ke benda – benda tersebut.
‘Untuk apa jubah dan pisau tersebut? Lastas darah siapa ini?’ Kartika mulai bingung
***

Di kelas tampak Malvi sedang menemani Frieska yang sedang bercinta dengan ekspresi sedih. Resnaga duduk di sudut sedang menulis sesuatu.
‘Windi dan Lena adalah sahabat terbaikku Vin. Aku nggak rela kehilangan mereka. Apa salah mereka? Apa maksud pembunuh itu?’ Frieska menagis saat bercerita kepada pacarnya Malvin.
‘Tenanglah Fris.. masih ada aku kok. Setidaknya kau belum kehilangan Lena. Dia masih di rumah sakit. Aku juga nggak tahu salah mereka apa.’ Malvin mencoba menenangkan Frieska.
‘Aku takut kalau.. kalau.. kalau habis ini giliranku yang dibunuh.’
‘Sstt.. jangn berkata begitu, sekarang kau aman kok. Sekolah sudah dijaga ketat oleh polisi’
Kartika pun masuk ke dalam kelas, setelah beberapa hari ia tidak masuk sekolah karena sakit demam.
‘Pagi...’ ia menyapa dengan pelan sesaat itu juga ia heran dengan wajah – wajah duka di kelas.
Malvin dan Frieska bangkit dari duduk tanpa berkata apapun pada Kartika dan mereka pu keluar.
“Tika, kau sakit apa?’ Resnaga segera menghampiri Kartika.
‘Cuma demam biasa kok. Ada apaan sih? Kenapa anak – anak mendadak aneh. Wajah mereka seperti penuh ketakutan dan kesedihan.’ Bertanya pada Resnaga sambil meletakkan ranselnya dan duduk di kursinya.
‘Sekolah ini diteror. Ada 2 kasus pembunuhan selama 2 hari ini.’
‘Haahh.. Pembunuhan?! Bagaimana bisa?’ Kartika terbelalak kaget.
‘Tika, Windi telah meninggal dengan sangat tragis. Dia di tusuk di kelas. Kemarin Lena dan Frieska juga hendak dibunuh. Tapi, hanya Lena saja yang berhasil ditusuk. Keadaanya sekarang kritis di rumah sakit. Diperkirakan pembunuh keduanya sama.’
  ‘Lantas siapa pembunuhnya?’
‘Entahlah. Polisi masih menyelididki teror ini. Polisi hanya dapat keterangan dari Frieska bahwa pembunuh itu memakai jubah dan tudung hitam, wajahnya tak tampak. Dia membawa sebilah pisau.’
‘Jubah hitam? Pisau, katamu? Kartika pun terdiam sejenak ‘ Tidak.. ini tidak mungkin..’ ia menggeleng tak percaya.
‘Ada apa Kartika? Kau megenal pembunuhnya? Kau tahu? Siapa?’
‘Res.. pembunuhnya.. pembunuhnya adalah Ibu Kartini. Aku harus menemuinya sekarang!’ Kartika berdiri dan berlari tergesa – gesa keluar kelas.
‘Tik, tunggu! TIK!’ Resnaga berteriak sambil mengacungkan Map Folder yang tertinggal di mejanya.
‘Ada apa dengan anak itu? Akhir – akhir ini dia tampak aneh’ is bergumam sambil membuka folder tersebut, di dalamnya ia menemukan agenda milik Kartika.
‘Hm, diary Kartika. Kira – kira dia marah ngga yah kalu aku baca isinya?’ ia pun membuka diary tersebut. Kemudian ia menemukan sebuah kertas lecek yang terselip di salah satu halaman. Dahinya mengerut serius tatkala membacanya.
‘Target Pembunuhan?’ ucapnya membaca judul kertas tersebut.
***

‘Ibu, jujurlah padaku!’
‘Maksud Nduk Kartika? Ibu ta paham’ ucap Kartini sambil duduk di tepi ranjang dengan raut muka sangat meyakinkan.
‘Apa.. apa ibu yang membunuh teman – temanku?’
‘Temanmu? Teman siapa? Sejauh ini hanya ibulah temanmu Nduk.’
‘Teman sekelas Tika Bu, Windi dan Lena!’
Kartini tertawa dingin dan melipat tangannya, suaranya berubah menjadi dingin ‘Apa mereka bisa disebut teman? Setiap bertemu mereka menganiyayamu, menyiksamu.. tak tahukah kau ibu sangat menyayangimu, Nduk?’
‘Jadi.. benar? Ibu adalah sosok berjubah hitam itu?!’ Kartika berkata lirih tak percaya.
‘Ya, aku memang yang merencanakan semuanya. Target pembunuhan selanjutnya Frieska’
‘Tidak.. tidak mungkin!’ Kartika menggelengkan kepala kuat – kuat.
‘Aku pembunuh! Kita pembunuh kaum perusak emansipasi!’
‘NGGAK! Kartini yang aku kenal bukan seorang pembunuh! Kau bukan Ibu Kartini Kartini tak mungkin membunuh.’
‘Apa yang kau bicarakan? Aku Kartini! Aku melindungi dirimu dari apapun yang kau benci!’
‘Kau jahat! Pergi dari sini! Kembalilah ke duniamu!’ ucap Kartika sambil mendorong Kartini ke bingkai cermin.
Kartini berusaha melawannya ‘Terserah, kau akan menyesal Nduk.. karena telah mengusirku. Api yang membersihkan api. Api itu juga yang menghancurkan kayu menjadi abu! Camkan itu!’ Kartini pun menghilang ke dalam cermin.
***

Di ruang kelas yang kelabu setelah 2 teror pembunuhan terjadi di kelas tersebut. Terlihat Frieska sedang duduk terdiam , wajahnya yang pucat dan sayu. Ketika Kartika muncul segera ia menegakkan badanya. Kartik datang dengan wajah tanpa ekspresi. Lalu ia menutup pintu kelas dan menguncinya.
‘Ada urusan apa kau kesini? Enyahlah kuper, aku sedang tak berselera mengolok – olokmu!’
‘Aku inin memberimu hadiah paling indah..’ Kartika tersenyum dingin menghampiri Frieska.
‘Hadiah?’ tiba – tiba Frieska melihat pisau yang tergenggam erat di tangan Kartika, ia terbelalak. ‘Kau ingin membunuhku?!’
‘Kalau iya, lantas kenapa? Kemarin kau lari, sekarag kau tak kan bisa lari lagi Frieska catik... ’ ucap Kartika sambil berjalan semakin dekat.
Frieska lalu berdiri merapat ke tembok ‘Jadi, kaulah sosok jubah hitam kemarin? Kau yang membunuh Windi kan?!  Aku salah apa padamu?!’
‘Kau tanya salah apa? Kau sangat berslah! Ha.. ha.. ha.. kau telah melukai Kartika, melukai Kartini, dan melukai Pertiwi!’
‘Aku nggak pernah lukai siapa pun.. pergi! Janagn sakiti aku! TOLONG! TOLONG AKU!’
Tiba – tiba pintu kelas terdengar digedor keras.
‘Kartika! Kartika! Buka pintunya!’ teriak Resnaga di balik pintu.
‘Tika! Mama mohon buka pintunya!’ Ibu Kartika pun ikut berteriak.
Kartika terkejut dan menoleh ke pintu yang masih tertutup ‘Pergi kalian dari sini! Aku Kartini! Aku akan membunuh wanita – wanita terkutuk!’
Terdengar suara keras, dan pintu itu pun berhasil terdobrak. Resnaga, Ibu Kartika dan Malvinmasuk dengan muka tegang.
‘Kartika lepaskan pisau itu Kau bukan Kartini! Kau Tika, sahabatku sejak kecil’ teriak Resnaga.
‘Kartika... maafkan Mama. Mama tak pernah tahu kau punya kepribadian ganda. Lepaskan jiwa jahatmu Nak.’
Please Kartika.. kumohon lepaska Frieska. Maafkan dia.. maafkan aku juga’ Malvin pun memelas kepada Kartika.
‘Persetan kalian semua!!!’ Kartika lalu menarik tubuh Frieska lalu mencengkram leher gadis tersebut. Ujung pisau itu pun ditempelkanya pada kulit mulus Frieska. ‘Jangan berani mendekat!’
‘Kartika, sadarlah! Bangunlah Tik! Kau adalah Kartika saahabat terbaikku. Kau adalah gadis baik. Kau bukan pembunuh. Dan Kartini hanya kepribadian yang tak kau sadari saja Tik. Tenangkan hatimu Tika..’ Resnaga berusaha menyadarkan Kartika.
Kartika pun oleng kehilangan keseimbangannya, mendadak ia merasa pusing. Cengkeeramannya pada Frieska mengendor, seketika Frieska berhasil membebaskan diri dan berlari dan berlari menuju Malvin.
‘Aku.. aku.. pembunuh. Aku membunuh orang – orang di dekatku. Pergi dari sini! Lekas! Aku tak mau jiwaku yang satunnya membunuh kalian! Pergi!’ Kartika mangacungkan pisaunya ke atas.
‘Tidak! Aku tak mau pergi! Karena aku sangat mencintaimu..’ ucap Resnaga.
Seketika seisi kelas hening sejenak.
 Kartika terisak sambil tersenyum getir ‘Maaf Res.. aku nggak bisa. Ak.. aku.. sudah terlanjur membunuh, aku nggak mau ngebunuh Frieska, Mama, Malvin dan kau.. Kalau kalian tak maun menjauhiku akulah yang harus pergi,’ dengan cepat Frieska menusukkan pisau tersebut ke jantunyanya.
‘TIDAKKK!!!!’ teriak Ibu Kartika histeris dan ia pun mendadak pingsan.
Tubuh Kartika tersungkur jatuh di lantai. Menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Antara kehdupan dan kematian ia masih bisa tersenyum menahan sakit. Resnaga segera berlari menghampirinya.
‘Terima kasih.. ak.. aku sayang kali.. an semua, khususnya eng.. kau Resnaga.. Selamat tinggal’ ucap kartika sambil perlahan memejamkan matanya.
“Sampai aku menarik napas yang penghabisan, akan tetap aku berterima kasih pada kalian dan mengucap syukur akan kasih kalian kepadaku. Seorang buta yang diperbuat melihat, sekali – kali tiada menyesal, matanya dibukakan orang karena bukan barang yang indah – indah saja yang menjadi terlihat olehku dan kalian.
-R. A. Kartini-”
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar